Senin, 24 Oktober 2011

Gamolan Way Kanan

Waykanan Bentuk "Gamolan Musik Ansambel"
Selasa, 28 Juni 2011 07:58 WIB


Waykanan (ANTARA LAMPUNG) - Dosen Program Studi Seni Tari FKIP Universitas Lampung (Unila) Hasyimkan dan pegiat seni di Kabupaten Waykanan Ferry Yanto sepakat membentuk komunitas "Gamolan Musik Ansambel" untuk melestarikan serta mengenalkan alat musik tradisional Lampung itu kepada khalayak dan generasi muda.

"Saya akan mempersiapkan laboratorium di Bandarlampung, sementara di Waykanan kami akan mengajarkan alat musik itu kepada anak-anak muda di daerah," kata Hasyimkan di Blambanganumpu yang berjarak sekitar 200 km sebelah utara kota Bandarlampung, Selasa.

Didampingi Ferry Yanto, ia menjelaskan saat ini sudah ada sekitar 70 pelajar SMA yang berminat untuk berpartisipasi sehubungan Majelis Penyimbang Adat Lampung juga mendukung pelestariannya.

"Menjaga tradisi atau kebudayaan tidak sekedar melakukan riset semata, namun juga perlu aksi dan melibatkan generasi muda supaya mengenal, memahami dan tentu saja bisa memainkannya," kata peneliti gamolan selama tiga tahun itu.

Gamolan merupakan alat musik tradisional Lampung yang terdiri dari delapan lempengan bambu yang diikat secara bersambungan dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan disimpul di bagian teratas lempeng.

Alat musik itu berasal dari kata `begamol` yang artinya berkumpul dan diperkirakan telah ada sekitar abad ke-4 Masehi dan mengalami puncak perkembangannya di abad ke-5 Masehi.

"Gamolan pada zaman dahulu merupakan kebutuhan masyarakat untuk berkomunikasi seperti halnya SMS, kami berharap pergerakan kreatifitas di waktu lampau tidak hilang atau dihilangkan dengan penggantian nama seperti cethik atau kolintang," katanya.

Penggantian nama itu melukai kearifan lokal, karena itu harus dikembalikan ke nama aslinya, mengingat sekarang ini bukan zaman Soeharto lagi yang dengan kekuatan politisnya bisa mengubah nama Bambuseribu menjadi Pringsewu, Kalibalau menjadi Kalibalok.

Perihal ketertarikannya mengajak pelajar Waykanan, sambung dia, istilah begamol di lima kebuayan atau masyarakat adat keturunan silsilah Bangsa Raja di daerah itu ada dan dikenal dengan nama 'pegamolan' secara literatur, seperti di Kecamatan Bahuga, Negeribesar, Pakuanratu, Blambanganumpu dan di Kampung Mesirilir.

"Tapi pada hakikatnya, siapapun itu jelma atau orang Lampung, yakni seseorang yang bergantung pada tanah, air, api dan udara di Provinsi Lampung berhak berpartisipasi melestarikan gamolan tanpa terkecuali," tandasnya. (ANTARA/PSO-049)
Editor: Hisar Sitanggang
COPYRIGHT © 2011

Tapis Bidak Galah Napuh (Leher Kancil)




Sumber: Radar Lampung

LAMPUNG memang kaya akan peninggalan benda-benda kesenian bersejarah, termasuk kain. Begitu kayanya, beberapa di antaranya terlupakan, termasuk Kain Bidak Galah Napuh.
Ketua Yayasan Tenun Peduli Tradisional Lampung Raswan menceritakan, lebih dari lima tahun, ia baru bisa membuat Kain Bidak Galah Napuh tersebut. Mulai penemuan motif asli hingga teknik pembuatannya. Ia mengatakan mengetahui keberadaan kain ini dari beberapa buku Indonesia Tekstil dan cerita dari orang-orang terdahulu.
Banyak kendala yang harus dilewatinya untuk menemukan kain ini. Selain karena motif asli kain itu sudah tidak bisa ditemukan lagi di tempat asalnya, yakni Kabupaten Waykanan, yang memilikinya juga tidak banyak. Bahkan untuk menemukan kain ini, ia mendapatkan contoh motif dari seorang teman yang merupakan kolektor benda-benda antik yang berdomisili di Jakarta. ’’Itu pun tidak bisa dipinjam, hanya boleh foto,” kenangnya.
Selain kesulitan menemukan kain asli dan motifnya, ia harus mengecek apakah benar motif tersebut merupakan asli dari Kain Bidak Galah Napuh, yakni bentuknya simetris dengan ciri khas bintik-bintik putih seperti leher kancil dan geometris.
’’Jadi observasinya juga cukup lama, karena kita tidak bisa langsung membuat tanpa tahu apakah ini motif asli dari Lampung,” ungkapnya.
Belum lagi, lanjut dia, pencarian sumber daya manusia (SDM)-nya sangat sulit karena proses pembuatan ini memerlukan tangan-tangan yang terampil. ’’Teknik pembuatannya sangat rumit dan tingkat kesulitannya begitu tinggi, penggabungan kain inuh dan songket,” terangnya.
Prosesnya, sambut Raswan, dengan cara benang dicelup dengan ikatan bagian per bagian. Kemudian dicelup dengan ATBM, yakni alat tenun yang merupakan pengembangan dari alat tenun nusantara. Dan penyungkitan seperti pembuatan songket, ATBM ini menggunakan sisirnya buatan Jepang dari Kyoto yang harganya puluhan juta.
Lelaki kelahiran 14 Maret 1966 ini menuturkan, karena tidak dimiliki banyak orang, dulunya kain ini digunakan untuk pakaian adat dari Waykanan, pengantin laki-laki, selingkep orang Lampung penutup badan laki-laki, dan juga sebagai penutup mayat.
Namun, terus Raswan, Kain Bidak Galah Napuh ini bisa dibuat kemeja, baju cewek, bahkan tapis khusunya tapis Kabupaten Waykanan yang berciri khas binatang-binatang. Untuk satu baju saja harganya bisa Rp400 ribu berukuran 2 meter 20.
’’Sebenarnya sudah banyak yang berminat, terlebih wisatawan lokal dan mancanegara. Tetapi tidak saya jual karena ini belum dipatenkan, sampai launching pada acara pameran nasional pertengahan Oktober di Hotel Ritz Calton di Jakarta. Serta akan didokumentasikan oleh Dekranasda Pusat dan majalah Kriya Dekranasda Nasional di bawah binaan Istri Ibu Andi Mallarangeng,” paparnya. (*)
Laporan Maria Ulfa, Radar Lampung

Senin, 03 Oktober 2011

Sekilas pandang Tiyuh Negeri Besar