Selasa, 14 Desember 2010

Tiyuh Mayjen Ryacudu

Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Minggu, 19 Februari 2006

Menengok Kampung Ryacudu
Ada tradisi yang dipertahankan di Mesirilir. Memasuki kampung kelahiran Mayor Jenderal Purnawirawan Mussanif Ryacudu ini, kita akan merasakan suasana kultural khas kebuwayan Bahuga.

BERJALANLAH ke Kecamatan Bahuga, Way Kanan. Jangan berhenti sebelum Anda sampai Mesirilir, ibu kota kecamatan ini. Di sini, kita akan melihat perkampungan tradisional buway Bahuga--satu di antara lima kebuwayan suku Lampung di Kabupaten Way Kanan.

Di sini juga kita akan melihat jejeran rumah panggung berbahan papan tebal. Di tiyuh (kampung) ini juga kita akan bersentuhan dengan tradisi kebuwayan Bahuga yang sampai sekarang masih bertahan.

Tiyuh Mesirilir berdiri di dekat Sungai Umpu atau Way Umpu. Rumah-rumah panggung berjajar mengikuti garis sungai dan sepanjang jalan yang membelah perkampungan.

Rumah-rumah panggung berumur puluhan tahun ini--ada yang ratusan--membersitkan suasana kultural tersendiri. Papan hitam kecokelatan menandakan ketuaan rumah panggung di Mesirilir. Ada juga rumah panggung yang dicat, tapi ini tidak menghilangkan suasana kultural khas buway Bahuga.

Warga Mesirilir hidup dalam ikatan adat yang diwariskan leluhur mereka, Bahuga. Tradisi kebuwayan Bahuga ini memiliki latar cerita yang tidak bisa dilepas dari muasal lima kebuwayan Way Kanan.

Berdasarkan penuturan berbagai sumber, kebuwayan Way Kanan berasal dari lima kakak beradik kandung: Semenguk, Baradatu, Barasakti, Bahuga, dan Pangeran Pemuka. Dari lima garis keturunan ini, Pangeran Pemuka terpecah menjadi empat marga: Pangeran Pemuka Udik, Pangeran Pemuka Tua, Pangeran Pemuka Ilir, dan "Pemuka Bangsa Raja".

Setiap kebuwayan mempunyai satu atau lebih penyimbang marga atau pemimpin kebuwayan. Penyimbang marga memiliki penyimbang di bawahnya, yakni penyimbang tiyuh, penyimbang suku, dan penyimbang saka.

Pemimpin yang menduduki penyimbang marga memiliki posisi tinggi. Ia dihormati layaknya "raja" yang memiliki kekhususan dalam satu kebuwayan.

Penyimbang marga menetap di rumah adat yang disebut nuwo balak. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, ada lawang kuri atau gapura, pusiban yang jadi tempat tamu melapor, ijan geladak atau tangga ke rumah, anjung-anjung atau serambi depan tempat menerima tamu, serambi tengah atau tempat duduk anggota kerabat pria, dan lapang agung atau tempat kumpul kerabat wanita.

Bagian muka nuwo, ada tiga ruang atau kamar, yakni kebik prumpu (ada yang kebik temen, kebik kerumpu) yang menjadi kamar tidur anak penyimbang bumi atau anak tertua laki-laki; kebik rangek yang menjadi kamar tidur penyimbang ratu atau anak lelaki kedua; dan kebik tengah, yaitu kamar tidur penyimbang batin atau anak ketiga lelaki.

Di Tiyuh Mesirilir ada tiga nuwo balak, yakni natar agung, bandar adat, dan gudang adat. Menurut R.A. Ikroni gelar Sutan Raja Alam, penglaku marga Bahuga, natar agung didiami keturunan Pangeran Mangku Alam, bandar adat oleh keturunan Ratu Mesir, dan gudang adat oleh Sutan Sumbahan.

Khusus Pangeran Mangku Alam, natar agung tidak turun ke anaknya karena ia tidak mempunyai anak lelaki. Dalam adat Lampung, pewaris adat adalah anak lelaki pertama. Nuwo itu turun ke Ratu Pria Bratangan atau Ryamor Ryacudu. "Ratu Pria-lah yang sehari-harinya mengurusi natar agung karena dia sudah diangkat anak oleh Pangeran Mangku Alam," ujar Ikroni, Minggu (29-1).

Natar agung berada di tengah Tiyuh Mesirilir. Anjung-anjung, serambi tengah, dan lapang agung nuwo ini tampak jejeran barang peninggalan dan foto Mayor Jenderal Purnawirawan Mussanif Ryacudu, ayah mantan KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu dan Wakil Gubernur Syamsurya Ryacudu.

Jangan heran kalau jejak almarhum Ryacudu ada di natar agung. Pangeran Mangku Alam adalah kakak tertua Ryacudu, sedangkan Ryamor adalah anak kedua Ryacudu, adik Ryamizard. Ya, Mesirilir adalah kampung mantan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Tanjungpura ini.

Lima Kampung Adat

Mengapa tiyuh ini bernama Mesirilir? Berdasarkan penuturan Ikroni, tiyuh ini terdiri dari lima kampung adat, yakni Kampung Lemayang, Kampung Unggak, Kampung Tengah, Kampung Liba, dan Kampung Bumiaji. Setiap kampung memiliki leluhur, yang meninggalkan tradisi sendiri-sendiri.

Leluhur Kampung Lemayang adalah Tuan Said Jung Layang. Tuan Said diyakini berasal dari Mesir, namanya aslinya Said Abdullah. "Tuan Said masuk Mesirilir ini menunggang perahu terbang. Makanya kampung ini disebut Mesirilir. Dia sudah menurunkan 20 sampai 21 generasi di sini," ujar Ikroni, yang masih keturunan Kampung Bumiaji.

Moyang Kampung Unggak bernama Tuan Tajung Darussalam. Diperkirakan, Tuan Tajung menurunkan 21 generasi di tiyuh ini.

Kampung Tengah dari Rangkai Gedi. Keturunan lebih muda dari Lemayang dan Unggak, sekitar 18--19 generasi. "Dia dari Jawa, badannya besar, Makanya disebut Rangkai Gedi," ujar Ikroni.

Kemudian, Tuan Tanda Penghulu Padang menurunkan generasi di Kampung Liba. Tuanda Tanda Penghulu ini dikenal suka berperang dan sukar dikalahkan. "Meriam peninggalannya masih ada sampai sekarang. Tuan Tanda Penghulu menurunkan sekitar 20 generasi," kata Ikroni.

Leluhur Kampung Bumiaji adalah Kecapang Mak Nakin. "Leluhur kami ini dikenal sebagai orang yang tidak mau menyerah. Dia tidak mau kalah," ujar Ikroni.

Setiap kampung mempunyai ciri tersendiri, sesuai dengan kemampuan leluhurnya. Orang-orang Lemayang, Unggak, Kampung Tengah, mempunyai kemampuan supranatural dari leluhur mereka. "Kalau orang Liba dan Bumiaji dikenal sebagai orang-orang pemerintahan," kata Ikroni.

Terpencil tapi Besar

Siapa yang mengira kalau kebesaran tradisi buway Bahuga ini berada di tiyuh yang cukup terpencil. Kalau memulai perjalanan dari Baradatu atau Blambangan Umpu, kita butuh waktu 3,5-an jam mencapai tiyuh ini.

Kalau tidak melalui Martapura, Sumatera Selatan, kita akan melalui jalan onderlaag dan jalan tanah berlubang. Jalan buruk ini bisa memperlambat perjalanan dan memperpanjang waktu tempuh. Jika ingin jalan mulus, lintas Komering--Martapura adalah pilihan yang tepat menuju lokasi ini.

"Jalan di sini dibuka sejak zaman Belanda. Dulu, jalan di sini bagus. Karena peperangan, jalan-jalan jadi rusak. Dulu juga ada taksi Martaputra--Mesirilir," kata Ikroni.

Wajar saja kalau akhir 1800-an Tiyuh Mesirilir sudah dibuka. Kampung ini sempat menjadi pusat administrasi di bawah pimpinan H. Masri sebagai pesirah waktu itu. "Mesirilir sempat dapat penghargaan sebagai kampung bersih zaman itu," ujar Ikroni.

Kalau sampai ada taksi Martapura--Mesirilir, bisa dibayangkan seperti apa posisi kampung ini zaman Belanda dulu. Tentu saja, Mesirilir menjadi salah satu kampung tujuan. n MAT/ENO/M-2

Jumat, 03 Desember 2010

Wat Pesawat terbang guway mulang tiyuh...

Semoga gawoh urusan sa berkelanjutan jadi sai haga mulang tiyuh mak susah2 lagi, tp dang lupa pak bupati helau kan jalan2 sai aduk tiyuh tuha bangi bangik perjalanan na.


TRANSPORTASI: 2 Pesawat Komersial Uji Coba ke Way KananWAY TUBA (Lampost): Dua buah pesawat komersial Susi Air melakukan uji coba pendaratan perdana di Lapangan Udara Angkatan Darat (Lanudat) Gatot Subroro, Way Tuba, Kabupaten Way Kanan, Kamis (2-12).

Hal itu berkaitan dengan rencana penggunaan Lanudat sebagai bandara komersial sipil pada 2011.

Pesawat pertama jenis Piaggio P180 Avanti, PK BVV Susi Vip mendarat tepat pukul 09.30, dengan enam penumpang, di antaranya Bupati Way Kanan Bustami Zainudin, Sekprov Lampung Hanan A. Razak, serta Kasdam II Sriwijaya Mayjen TNI Harry Purdinato. Pesawat jet dengan pilot Christian Von Strombeck dan Copilot Tom Price.

Selanjutnya, tepat pukul 10.00, pesawat kedua Cessna C2008 Grand Carapan jenis Propjet PK-VVM mendarat dengan 12 penumpang. Rombongan dipimpin Kepala Bapeda Kabupaten Way Kanan Kussarwono dan unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) setempat.

Presiden Direktur (Persedir) Susi Air, Susi Puji Astuti, menjelaskan pendaratan perdana dua pesawat komersil itu merupakan tindak lanjut dari memorandum of understanding (MoU) Pemkab Way Kanan mengenai rencana penggunaan Lanudat sebagai bandara komersial rute Way Kanan—Jakarta dengan ongkos tiket Rp1 juta.

Saat ini, Susi Air bekerja sama dengan beberapa kabupaten/kota dalam bidang transportasi udara. "Untuk Pulau Sumatera, kami telah melayani delapan kali penerbangan setiap hari," kata Susi.

Susi menjelaskan perusahaan itu berdiri pada 7 Januari 2005, dengan jumlah pesawat awal dua buah. Saat ini, jumlah pesawat telah mencapai 38 unit dan pada Desember akan didatangkan 5 pesawat baru serta jumlah pilot 130 orang.

Bupati Way Kanan Bustami Zainudin menjelaskan penggunaan Lanudat sebagai bandara komersial merupakan gagasan Gubernur Lampung dan Gubernur Sumatera Selatan sejak 2006.

Apalagi lokasi Lanudat sangat strategis dan didukung lima kabupaten terdekat, yakni Lampung Barat, OKU Timur, OKU Induk, OKU Selatan, dan Kabupaten Way Kanan.

Bupati yakin bandara komersial itu akan maju. "Hanya dengan satu jam dan ongkos satu juta rupiah, kami telah sampai di Ibu Kota," kata dia.

Dalam kesempatan itu, Susi Air memberikan kesempatan selama tiga kali penerbangan untuk jajaran Forkopimda, media massa, dan masyarkat menikmati penerbangan selama kurang lebih 25 menit di udara mengelilingi wilayah kabupaten setempat. Dengan menggunakan pesawat Cessna C2008 Grand Carapan dengan Pilot M. Hasri serta Copilot Dommingue. (LEH/R-2)

Selasa, 28 September 2010

Biduk Umpu Serunting

Biduk Umpu Serunting

Penulis Arief R
Rabu, 13 Januari 2010
Biduk Umpu Serunting adalah sebuah batu, dimasyarakat Way Kanan memiliki cerita sendiri dimana, menurut cerita rakyat Way kanan mengandung sejarah nenek moyang Way Kanan yang bernama “Umpu Serunting”, di daerah ini ada biduk berubah menjadi batu yang sampai saat ini masih bisa kita temui, konon biduk tersebut adalah milik Umpu serunting yang kandas di puncak bukit harapan nasib pada perkampungan Bukit Gemuruh Kecamatan Way Tuba. Sekilas memang Batu tersebut jika kita amati mirip dengan Perahu dan ada telapak kaki orang purba.Wilayah ini sangat cocok untuk wisata alam petualangan (pendakian). Keunikan daerah ini terdapat pada perpaduan antara panorama alam dengan wisata budaya. Jarak dari ibukota kabupaten ± 41 km

Selasa, 21 September 2010

Syair Lagu: SEMINUNG

SEMINUNG

Seminung di kala dibi

Cahyani kuning gegoh emas

Cukutni hamparan mata

Tebingni ngejutko hati

Manuk-manuk behamboran

Dija dudi ragom bepantun

Ngerasako angin Seminung

Cerita jak zaman saka

Reff:

Segala huma di zaman timbai

Tanom tumbuh tuwoh mak buhantara

Seminung sikop dilingkari wai

Kurnia Tuhan Mahakuasa

Lagu : Sang Bumi Ruwa Jurai

Sang Bumi Ruwa Jurai
Jak ujung Danau Ranau
Teliu mit Way Kanan
Sampai pantai lawok jawo
Pesisir rik Pepadun
Jadi sai delom lamban
Lampung sai kaya-raya

Kik ram haga burasan
Hujau ni pemandangan
Huma lada di pematang
Api lagi cengkeh ni
Telambun beruntaian
Tanda ni kemakmuran

Lampung sai...
Sang bumi ruwa jurai 2x

Cangget bara bulaku
Sembah jama saibatin
Sina gawi adat sikam
Manjau rik sebambangan
Tari rakot rik melinting
Ciri ni ulun Lampung

Lampung sai...
Sang bumi ruwa jurai 2x

Lagu: Sang Bumi Ruwa Jurai
Cipt : Syaiful Anwar

Jumat, 27 Agustus 2010

Sejarah Kebuayan Lampung Way Kanan

PENDAHULUAN

Buku Prosesi anugerah adat Lampung Way Kanan ini disusun sebagai wacana antropologi dan sosiologi hukum adat Lampung khususnya Lampung Lima Kebuayan Way Kanan dan hukum adat di Indonesia, wacana bukanlah referensi baku, karenanya peluang debat dari berbagai sumber sangat terbuka, namun demikian untuk mengawali tulisan yang pada akhirnya menjadi referensi tata cara Prosesi Anugerah Gelar Adat Lampung Lima Kebuayan Kabupaten Way Kanan telah dimulai.

Kabupaten Way Kanan terdiri dari Lima Kebuayan (buay = silsilah keturunan bangsa Raja) yakni Buay Semenguk, Buay Baradatu, Buay Barasakti, Buay Pemuka dan Buay Bahuga. Yang pada akhirnya membentuk komunitas Lima Kebuayan – Way Kanan..

Orang Lampung yang dimaksud adalah orang yang berbahasa Lampung dan beradat Lampung. Provinsi Lampung adalah daerah transmigrasi yang dibuka sejak tahun 1905, sehingga yang terbanyak adalah orang Jawa, di samping suku bangsa lainnya. Bisa dikatakan sudah tidak ada lagi daerah tertutup yang tidak didiami penduduk pendatang, kecuali di beberapa tempat yang belum padat penduduknya.

Buku ini ditulis sebagai salah satu kerangka dasar untuk penulisan Tata Cara Prosesi Anugerah Gelar Adat Lampung Lima Kebuayan Kabupaten Way Kanan dimasa mendatang. Dengan harapan semoga perkembangan kebudayaan akan mendorong penyesuaian tata cara itu kearah yang lebih baik.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pemurah dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Saran dan masukan dari pembaca sangat diharapkan, semoga buku ini bermanfaat.



Blambangan Umpu, Juli 2008
Penyusun
zithz



PAKSI PAK TUKET PEDANG

Dikisahkan sebuah keluarga dengan pimpinan Tuan Purba Matahari masuk ke Lampung. Keluarga ini berperahu selama bertahun-tahun, dari lautan lalu menyusuri sungai besar ke arah hulu. Akhir perjalanan mereka menetap di hulu sungai.
Dalam perkembangannya keluarga ini bergerak ke Sekala Brak, Keluarga yang kemudian bercucung pinak ini keturunannya pindah dan berpencar membangun kampung dan peradaban. Beberapa keturunannya masuk ke wilayah Way Kanan membentuk dua komunitas yang disebut Poyang Kuasa cikal bakal Buay Semenguk dan Poyang Pandak Sakti cikal bakal Suku Pak Ngepuluh. Pada awalnya Poyang kuasa masuk mengikuti sungai Umpu dan berkembang di Selatan Way Kanan. Sementara perjalanan keturunan kelompok Poyang Pandak Sakti yang di pimpin oleh Minak Ratu Putra menetap di Cingiue dan berkembang terus ke Rebah Canggung dan selanjutnya tersebar hingga ke Tahmi. Di Tahmi mereka membangun komunitas terdiri dari 40 rumah. Komunitas inilah yang kemudian menjadi Suku Pak Ngepuluh.

Beberapa kepala keluarga dari kelompok suku datang dari Bukit Siguntang Sumatera Selatan mereka terdiri dari:
1. Cucung Dalam
2. Naga Berisang
3. Dayang
Keturunan Naga Berisang dipimpin oleh Puyang Sakti, ia berjumpa dengan Puyang Serata Di Langik, Puyang Kuasa dan Pandak Sakti. Mereka berempat membentuk persekutuan “Paksi Pak Tukket Pedang” terdiri dari:
1. Puyang Sakti (Buay Bulan)
2. Puyang Kuasa (Buay Semenguk)
3. Puyang Serata Di Langik (Buay Nuwat)
4. Puyang Pandak Sakti (Suku Pak Ngepuluh)

Konon dari Paksi Pak Tukket Pedang inilah peradaban yang lebih maju berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah Lampung.

LIMA KEBUAYAN

Dalam Perkembangannya Buay Semenguk meluas menjadi tiga buay yakni
Buay Semenguk
Buay Baradatu
Buay Barasakti
Dalam Perkembangannya Suku Empak Ngepuluh berkembang menjadi
Buay Pemuka
Buay Bahuga

Kabupaten Way Kanan disebut juga lima kebuayan karena berasal dari lima marga di atas.
1. Marga Semenguk
2. Marga Baradatu
3. Marga Bahuga
4. Marga Pemuka
5. Marga Barasakti

Ad. 1. Buay Semenguk
Meliputi Kampung :
• Negeri Batin
• Negeri baru
• Bumi Ratu
• Gedung Batin
• Bandar Dalam
• Negeri Agung
• Pulau Batu
• Penengahan.

Ad. 2. Buay Baradatu
Meliputi Kampung :
• Tiuh Balak
• Gedung Pakuon
• Cugah
• Gunung Katun
• Banjar Masin
• Suka Negeri
• Gunung Labuhan
• Bengkulu

Ad. 3. Buay Bahuga
Meliputi Kampung :
• Bumi Agung
• Mesir
• Negeri Tulang Bawang
• Kebang
• Karangan
• Segara Mider
• Kedatun

Ad. 4. Buay Bara Sakti
Meliputi Kampung :
• Karang Agung
• Gunung Waras
• Gunung Cahya
• Rumbih
• Negara Ratu
• Negara Sakti

Ad. 5. Buay Pemuka
Marga Pemuka dibagi menjadi empat yaitu :
a. Pemuka Pangeran Tua ; Pakuan Ratu
b. Pemuka Pangeran Udik : Blambangan Umpu
c. Pemuka Pangeran Ilir :
d. Pemuka Bangsa Raja : Negeri Besar

Ad. a. Pemuka Pangeran Tua
Meliputi Kampung :
• Pakuan Ratu
• Tanjung Ratu
• Gedung Menong
• Kota Bumi Way kanan
• Sungsang
• Kota Bumi Baru

Ad. b. Pemuka Udik
Meliputi Kampung :
• Blambangan Umpu
• Gunung Sangkaran
• Tanjung Rajo/giham
• Segara Midar

Ad. c. Buay Pemuka Pangeran Ilir
Meliputi Kampung :
• Kartajaya ?
• Sri Menanti ?
• Negeri Batin ?

Ad. d. Buay Pemuka Bangsa Raja
Meliputi Kampung :
• Negeri Besar